“Permisi, Bu. Saya minta izin ke
belakang sebentar?”, tanya ku pada guru ku yang sedang mengajar.
“Ya,
silahkan”, jawabnya.
“Terima
kasih, Bu”, sahut ku
Secepatnya
aku berlalri ke toilet. Setelah aku sampai disana, aku memasuki sebuah kamar
mandi kecil. Setelah aku keluar dari sana, langkah ku terhenti pada bercak
merah ditangan ku. Apa ini? Mungkinkah
ini darah? Tapi darimana?
Setelah
aku pergi ke kantin hanya untuk bercermin, ternyata baru ku sadari. Mimisan? Aku mimisan? Kenapa? Aku tidak
pernah merasakan sesuatu! Tepat saat itu juga kepala ku mendadak menjadi
sakit, penglihatan ku menjadi buram, makin gelap, gelap, gelap, tunggu! Aku
melihat seseorang di ujung mata ku. Siapa
itu? Sepertinya aku mengenalnya, kata hati ku berbicara. Hingga saatnya aku
tidak sanggup menahan sakit yang ku rasakan, akhirnya semua penglihatan ku
menjadi gelap, kali ini benar-benar gelap.
“Ra, sudah
sadar?”, tanya seseorang
Perlahan
ku buka mata ku.
“Saya
dimana Bu?”, tanya ku pada orang itu
“Wira
dirumah ibu. Tadi ada seseorang yang meminta ibu untuk menjaga kamu saat kamu
pingsan”, jelas orang itu.
Oh,
ternyata ini ibu kantin.
“Terima
kasih ya Bu. Wira minta, ibu jangan pernah ceritakan hal ini kepada siapapun.
Hanya Ibu, Wira, orang itu, dan Tuhan yang tahu Bu.”, jelas ku kali ini
“Iya Ra,
Ibu janji”, jawabnya
ᴥ
To: Kak Adi Cahyo S
Cepat
dong ka, dingin nih di luar. Lama banget ganti bajunya!
From: Kak Adi Cahyo S
Iya
sabar, bentar lagi juga keluar.
“Manyun amat mulutnya, entar nggak
imut lagi loh de”, ledek kak Adi
“Habisnya
kakak lama betul, ngapain aja sih kak? Wira aja nggak dandan selama kakak”,
omel ku panjang lebar
“Kakak
nggak dandan kok de, sengaja aja buat ade nunggunya lama. Biar bisa liat muka
manyun ade”, jawabnya sambil tertawa dan berlari dari hadapan ku
“Apaa?!!
Kakaaakkk!!”, panggil ku setengah berteriak.
Pagi
ini, aku dan abang ku, panggilan dari ku untuk kak Adi, telah berjanji akan
berolah raga bersama pagi ini. Lagian, ini juga buat program diet ku. Karna
abang ku baik, jadi dia mau deh menemani ku untuk berolah raga walaupun hanya
sekedar lari pagi. Makasih kakak.
“Capek
nih kak”, rengek ku pada kak Adi
“Yee,
baru juga jalan sebentar udah capek. Baru permulaan nih de, ayo semangatnya
mana..”, katanya menyemangati ku
“Bantuin
jalan kak”, rengek ku kembali
“Manjanya
ade ini. Sini, cepat jalaann”, jawabnya sambil mendorong ku dari belakang.
“Makasih
abang”, kata ku tersenyum puas, emang
enak dikerjain!
“Iya
sayang”, jawabnya sambil menahan emosi.
Wkwkwkwkk,
seru juga, pikir ku. Matahari mulai
menampakkan cahayanya. Mencoba menyinari seluruh permukaan bumi. Udara yang
tadinya dingin perlahan menjadi hangat. Burung-burung bernyanyi dengan
riangnya. Ayam-ayam mulai mencoba membangunkan umat manusia.
Sekarang,
aku berada di atas bukit bersama kak Adi. Tempat
yang indah, hati ku berbicara. Kami beristiahat sebentar setelah melalui
perjalanan panjang dari rumah kak Adi menuju bukit ini. Cukup melelahkan. Tapi itu
semua terbalaskan dengan pemandangan yang ada disini.
“Uwaaaa,
indah banget pemandangannya”, kata ku memuji tempat ini
“Jangan
mulai lebay deh de”, olok kak Adi
“Kenapa
sih kak? Iri ya Wira sampai duluan? Kasian deh lu”, olok ku kembali
“Itu juga
karna kakak yang dorong ade dari belakang”, jawabnya sedikit manyun
“Hahaha,
emangnya enak dikerjain. Siapa suruh ngerjain orang, itu sudah balasannya”,
ledek ku
“Oh awas
kamu de ya, pulang jalan sendiri nanti ade”, katanya dengan nada sedikit emosi.
Tapi ku tahu, dia hanya bercanda.
“Bagus ya
de pemandangannya, udaranya masih segar”, kata kak Adi
Aku yang
tadinya duduk, kini telah berdiri. Kemudian aku merentangkan kedua tangan ku
dan memejamkan kedua mata ku...
“Betul
banget kak. Andai boleh memilih, Wira mau hidup lebih lama lagi disini”, kata
ku perlahan tapi pasti
“Ade
suka?”, tanya kak Adi. Yang tadinya dia duduk, sekarang sudah berdiri dan
berada tepat dibelakang ku sambil kepalanya menengok ke arah depan wajah ku.
Aku pun menoleh ke arahnya dan menjawab...
“Iya kak”,
kata ku dengan tenang
“Akhirnya
kakak benar-benar mempunyai ade sekarang”, jawabnya sambil berdiri disamping ku
“Jadi
selama ini kakak nggak anggap Wira ade kakak?”, tanya ku manyun
“Bukan
gitu. Ade memang adenya kakak. Bahkan bisa dibilang ade tuh ade kesayangan
kakak. Kakak senang aja bisa merasakan kebahagiaan bersama orang yang kakak
sayang. Rasanya, kakak ingin menghentikan waktu dan merasakan keadaan ini lebih
lama lagi”, jelasnya
“Iya kak,
Wira juga senang punya kakak seperti kakak. Bukannya Wira tidak menganggap kak
Echa itu kakak Wira, tapi Wira senang akhirnya Wira mendapatkan kasih sayang
seorang kakak saat ini”, jelas ku tak mau kalah.
Pagi ini benar-benar membuat ku tenang,
seperti tak ada beban lagi di pundak ku. Ku rasakan kebebasan yang mendalam.
Belum pernah aku merasa setenang ini. Terima kasih Tuhan. Berkat Engkau, kini
aku dapat merasakan kasih sayang seorang kakak. Seorang malaikat yang dapat
membuat ku merasa nyaman, merasakan dunia ini penuh kedamaian. Hingga
akhirnya ku dengar pertanyaan itu..
“Ade
kenapa? Mimisan ya?”, tanya kak Adi cemas
“Apa
kak?”, tanya ku balik
“Ini”,
tanyanya tak percaya sambil memegang bagian bawah hidung ku.
Tuhan, tolong jangan sekarang!
To be continued...