Aku Yang Berdamai Dengan Masa Lalu
November 12, 2018
(cr: google)
Apakah kamu terlahir dalam keluarga yang harmonis? Apakah kamu selalu mendapatkan kasih sayang yang penuh dari orang tua mu? Apakah kamu hidup berkrcukupan dan tidak merasakan kekurangan? Apakah kamu terlahir dengan otak yang cerdas dan banyak mendapatkan cinta dari lingkungan sekitar? Jika jawabannya iya, maka kamu harus bersyukur atas nikmat tersebut yang sudah Tuhan berikan kepada dirimu. Karena banyak diluar sana saudara mu belum tentu dapat merasakan hal yang sama layaknya dirimu, termasuk aku.
Sedikit cerita tentang diriku. Aku terlahir dalam keluarga yang sederhana dan memiliki orang tua yang lengkap serta saudara yang menyayangiku. Aku tidak lahir di rumah sakit. Aku tidak minum susu sapi. Aku tidak tidur di atas kasur. Aku tidak memiliki tablet untuk menggambar. Aku tidak memiliki handphone hingga kelas 5 SD. Aku tidak memiliki rumah bertingkat. Aku tidak makan ayam setiap hari. Aku tidak diberi uang jajan lebih dari 7 ribu saat SD. Aku tidak bepergian ke luar kota saat libur semester. Dan satu yang paling sering terjadi saat aku masih SD, aku sering dimusuhi oleh teman sekelas ku.
Aku memiliki seorang malaikat sekaligus ibu yang begitu menyayangi ku dan kakak ku. Aku memanggil beliau dengan sebutan Mama. Mama yang melahirkan ku dengan normal harus berjuang karena tidak lahir di rumah sakit, melainkan di rumah. Dengan bantuan seorang bidan kampung dan Bude angkat (sebutan untuk Tante), akhirnya Mama dapat mengeluarkan ku dari dalam perutnya dengan selamat dan sehat wal afiat.
Lalu aku juga memiliki seorang ksatria sekaligus bapak yang begitu keras. Aku memanggil beliau dengan sebutan Ayah. Saat aku masih kecil, Ayah sering meninggalkan Mama, Kakak dan diriku seorang diri di rumah selama berbulan-bulan untuk bekerja di hutan. Aku tidak terlalu mengerti apa yang beliau kerjaan, tapi Mama pernah bilang bahwa beliau berjuang sendirian menghidupi anak-anaknya saat suaminya tidak ada di rumah. Aku kecil begitu takut pada sosok Ayah. Jika beliau sedang tidur dirumah, maka aku dan Kakak tidak berani membuat keributan. Karena bisa saja kami berdua dimarahi dan berakhir dengan pukulan dari beliau.
Terakhir, aku memiliki seorang saudara serahim berjenis kelamin laki-laki. Dia ku panggil Kakak. Kami berbeda 3 tahun. Kata Mama, waktu Mama melahirkan Kakak, beliau mempertaruhkan nyawanya karena air ketuban pecah duluan dan hampir kering. Saat lahir, alhamdulillah Kakak sehat dan dapat tumbuh seperti anak lainnya. Namun ternyata Tuhan berbaik kepada keluarga ku. Tuhan memberikan sesuatu yang spesial terhadap diri Kakak. Kakak seorang anak Tunagrahita. Jika kalian penasaran apa itu Tunagrahita, kalian dapat mensearchingnya. Namun secara singkat, Tunagrahita itu adalah keterbelakangan mental/retardasi mental yang mana kecerdasan di bawah rata-rata dan seperangkat keterampilan kehidupan yang ada sebelum usia 18. Walau Kakak termasuk Tunagrahita Ringan, tetap saja ia bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) dari SD hingga SMA. Sedetikpun seumur hidup ku, aku tidak pernah merasa malu memiliki seorang Kakak yang mempunyai keterbelakangan mental. Well, jika dilihat sekilas, Kakak sangat mirip dengan anak normal seusianya. Dia sangat pintar dalam mengingat sesuatu, dia sangat mengerti dalam menjalankan komputer dan alat elektronik lainnya, dia sangat menyukai musik dan mengingat semua lirik yang dia nyanyikan, dia mampu berjalan jauh baik menggunakan sepedanya atau berjalan kaki, dia sangat menyukai kartun dan tentu saja Cartoon Network (CN) menjadi salah satu kartun kesukaannya. Kakak tidak pernah les Bahasa Inggris, tetapi dia mengerti semua jalan cerita yang dia tonton.
Masa Kecil Yang Keras
Aku sudah pernah katakan bahwa Ayah ku sangat keras, kan? Yap, aku akan memberikan sedikit pengalaman ku saat aku dan Kakak ku masih kecil.
Kami berdua dibesarkan dengan seorang Ibu yang penyayang dan seorang Bapak yang ringan tangan. Dulu saat kecil, aku tidak tau kenapa aku dilarang keluar rumah setelah lewat dari jam 5, kenapa saat makan tidak boleh berbunyi, kenapa saat berbicara dengan orang tua nada suara kita tidak boleh lebih keras dari mereka, kenapa saat sekolah aku dipaksa untuk mendapatkan ranking, kenapa saat siang hari aku harus tidur dan tidak boleh menonton kartun, kenapa saat malam hari aku harus belajar dan tidak boleh tidur sebelum aku belajar, kenapa hari minggu aku harus menyapu halaman rumah yang penuh dengan daun kering, kenapa setelah makan aku harus mencuci piring sendiri, kenapa saat sore hari aku tidak boleh bermain dengan tetangga sekitar rumah dan masih banyak pertanyaan kenapa yang aku pikirkan hingga detik ini.
Mungkin dari pertanyaan di atas kalian dapat menyimpulkan "Ah wajar, itu kan demi kebaikan kita juga". Well, saat sudah besar aku juga menyimpulkan hal yang sama. Namun saat ku renungkan kembali, ku rasa proses yang ku dapat saat menjalankan pertanyaan itu yang tidak dapat ku terima.
Pernah suatu ketika saat aku masih umur sekitar 4-5 tahun. Waktu itu sore hari dan Mama sudah menyuruh ku dan Kakak untuk pergi mandi. Namun yang dilakukan Kakak adalah pergi keluar rumah dan jalan hingga mendekati adzan Magrib. Aku yang sudah ketakutan kenapa Kakak belum pulang juga mencoba melaporkan kepada Mama. Mama yang awalnya terlihat tenang juga mulai panik dan mengoceh sendiri karena Kakak tidak mendengarkan omongannya. Ayah yang mengetahui ketidakhadiran Kakak dirumah saat jam 6 sore mulai menahan emosi. Saat Kakak pulang, Kakak mengetuk pintu. Aku yang membukakan pintu itu lalu bertanya dia darimana. Dia menjawab dia habis bermain dengan anak tetangga sekitar. Aku memberitahukan jika Ayah tau dan sedang marah. Saat Kakak masuk ke dalam rumah, ia langsung disambut oleh Ayah yang membawa sapu. Dipukulkannya sapu itu ke badan Kakak secara bertubi-tubi yang mencoba menghindari Ayah, namun Ayah terlalu marah untuk menghentikan aksinya itu. Kakak mencoba berlindung kepada Mama yang akhirnya juga ikut dimarahi oleh Mama karena saat Kakak mencoba berlindung, Mama juga mendapati pukulan dari Ayah. Aku yang melihatnya dari kejauhan di sudut ruangan hanya bisa meminta Ayah berhenti memukuli Kakak. Aku kasian melihat Kakak merasakan kesakitan. Namun luar biasanya, Kakak tidak menangis. Dia hanya meringis kesakitan dan meminta ampun kepada Ayah. Setelah Mama berteriak menyuruh Ayah berhenti memukuli Kakak, barulah Ayah berhenti. Itupun masih dengan perasaan emosi dan mengomeli Kakak. Hasilnya? Jangan tanya. Badan Kakak biru-biru dan pastinya itu sangat sakit. Mama mengobati Kakak, menyuruhnya mandi lalu memberinya makan. Mama memang malaikat paling baik yang pernah ada di keluarga ini.
Itu pertama kalinya aku melihat Kakak di pukuli oleh Ayah. Setelah itu, Kakak masih sering keluar sore dan pulang hingga petang namun makin lama Ayah mulai malas untuk memukuli Kakak dan hanya menegurnya dengan nada yang keras. Selebihnya hanya Mama yang memarahi Kakak dengan segala ocehannya.
Kalau kalian bertanya apakah aku pernah mengalami hal yang sama? Jawabannya iya. Dulu aku juga pernah mengalami insiden seperti yang di alami oleh Kakak ku. Jadi waktu itu sekitar kelas 5 SD aku sudah memiliki sepeda. Warnanya merah dan silver. Aku biasanya hanya menggunakan itu saat berangkat sekolah, les dan mengerjakan pr di rumah teman. Aku jarang bermain sepeda di sekitar rumah pada sore hari, selain karna diriku malas keluar rumah, aku juga termasuk anak yang tidak suka bermain di luar rumah panas-panasan. Waktu kejadian itu, rumah ku sedang di renovasi dan aku yang sedang dirumah hendak ke rumah temanku. Saat itu Mama melarang ku untuk pergi karena hari sedang panas. Aku yang sedang marah karena dilarang keluar rumah, lalu dari samping rumah aku mendengar suara sepeda ku. Aku curiga sepeda ku akan di pakai oleh Kakak karena aku tau ban sepedanya sengaja di bocorkan oleh Ayah agar ia tidak berjalan keluar rumah. Awalnya ku tegur ia untuk tidak menggunakan sepeda ku karena juga tau, dia kalau menaiki sepeda tidak bisa lembut. Dan juga itu sepeda wanita.
Ucapan ku tidak digubrisnya. Aku makin meninggikan nada suara ku agar ia mendengar bahwa adiknya ini sedang memperingatkannya untuk tidak menggunakan barang orang tanpa seijin yang punya. Teguruan ku mulai menjadi rengekan dan makin keras hingga suara ku di dengar oleh Ayah. Aku yang masih meneriaki Kakak sambil merengek sekaligus emosi tiba-tiba kepala ku terasa seperti telah dipukulkan dengan benda keras. Telinga ku berdengung. Aku tidak bisa mendengar apapun selain dengungan. Kepala dan badan ku terasa ringan. Penglihatan ku mulai terasa samar. Lalu untuk kedua kalinya aku merasakan benda keras itu kembali terpantul di kepala ku. Suara ku tercekat, bahkan aku sudah tidak bisa menangis bahkan merengek. Ingatan tentang sepeda dan Kakak ku menguap sudah. Yang ku ingat terakhir kali hanyalah suara Mama yang berteriak saat melihat ku perlahan terjatuh ke lantai. Saat itu aku hanya bisa memeluk erat lengan tangan Mama. Setelahnya semua terasa hitam.
Saat aku sudah bangun, Mama menceritakan semuanya. Katanya tadi Ayah telah memukul kepala ku dengan ganggang sapu. Dan parahnya lagi sapu itu terbelah menjadi dua! Pantas saja aku langsung pingsan, ganggang sapu yang terbuat dari kayu di pukulkan ke kepala ku dan terbelah dua! Mulai saat itu aku selalu mengkhawatirkan kepala ku dan beberapa minggu setelahnya aku selalu mengeluh mengalami sakit kepala. Bahkan hingga SMA aku masih sering merasakan sakit kepala itu. Aku bukan anak yang mudah stress, tetapi aku yakin efek dari insiden itu telah membuat ku mengalami masalah yang serius.
Tak hanya sampai disitu. Aku dan Kakak ku juga pernah mendapatkan hukuman bersama saat aku masih SD kelas 1. Saat itu listrik sedang mati di lingkungan tempat tinggal ku termasuk rumahku. Lalu Ayah mengatakan kepada kami untuk tidak keluar rumah dan menyebrang jalanan (waktu itu rumah ku terletak di pinggir jalan raya). Berhubung Kakak seseorang yang keras kepala dan tidak ada jeranya, jadilah ia untuk keluar rumah dan menyebrangi jalanan hanya untuk bermain dengan tetangga di sebrang jalan. Aku sudah sangat mengkhawatirkan Kakak karena takut ketahuan Ayah. Firasatku sangat tidak enak malam itu. Saat Ayah memanggil ku untuk menutup pintu rumah malam itu,aku hanya bisa terdiam karena Kakak masih di sebrang jalan dan belum pulang. Waktu Ayah mengetahui keberadaan Kakak, beliau langsung memanggilnya dan menyuruhnya pulang. Saat sampai di rumah, Kakak lalu di giring ke kamar mandi dan diguyur air karena tidak menuruti kata-kata Ayah. Aku cuma bisa berteriak memohon agar Kakak tidak diguyur air lebih banyak lagi. Alhasil, aku juga ikutan diguyur air seperti Kakak. Aku mencoba berlindung dengan Kakak dan mencoba memanggil Mama untuk menolong kami. Kemudian Ayah mengunci kami berdua di dalam kamar mandi dan lampu kamar mandi juga dimatikan. Mama yang hendak menolong kami tidak dapat berbuat banyak karena Ayah melarang Mama untuk mengeluarkan kami. Seingatku, selama 3 jam dalam seumur hidupku, baru kali itu aku merasa setakut itu dengan kegelapan. Ditambah dinginnya baju yang ku kenakan bekas guyuran air tadi. Aku hanya bisa menangis di ujung kamar mandi sambil merangkul lutut ku. Anak SD kelas 1 mana yang tahan diperlakukan seperti itu. Silahkan kalian memposisikan diri kalian di posisi ku.
Jika kalian bertanya seberapa banyak siksaan yang aku dan Kakak ku dapat karena Ayah ku, well, aku sendiri tidak berani untuk mengingatnya. Karena sejujurnya, saat mengetik ini pun, aku terus berusaha mencoba untuk menahan air mata dan ketakutanku terhadap masa lalu. Sudah tidak dapat ku hitung berapa banyak pukulan demi pukulan yang diriku dan Kakak ku terima. Bahkan Mama sampai mengeluh karena sapunya selalu patah karena Ayah yang selalu memukul anaknya menggunakan sapu. Beliau harus membeli yang baru lagi dan lagi. Terkadang Mama juga bisa emosi dengan perlakuan Ayah, tetapi Ayah lebih keras dari Mama jadi Mama tidak dapat berbuat apa-apa.
Hidup Dalam Kesederhanaan
Jika saat kecil kalian dapat makan enak di rumah makan atau restauran kesukaan keluarga kalian, lain halnya dengan keluarga ku. Orang tua ku mengajarkan untuk selalu berhemat dan menabung sebanyak mungkin. Tidak perlu makan di luar jika sekolah ku saja tidak beres. Tidak perlu bermain dengan teman jika nilai pr ku saja masih jelek. Tidak perlu liburan ke luar kota jika nilai semester ku saja rendah. Aku tidak bisa membedakan mana yang kekurangan, mana yang pelit dan mana yang tidak menyayangi anaknya. Bahkan disaat aku mendapat ranking 1 saat semesteran dan nilai pr ku yang bagus, ku tetap tidak diberikan apa-apa. Hanya Mama yang berbaik hati memasakkan ku makanan enak pada malam harinya. Hanya Mama yang menambah uang jajan ku diam-diam saat nilai-nilai ku di sekolah meningkat. Hanya Mama yang membelikan seluruh peralatan dan keperluan sekolah ku dan Kakak. Aku tidak tau apakah Ayah ikut berkontribusi di dalamnya, karena selama ini yang ada di mata ku hanyalah Mama. Jika benar Ayah ikut andil di dalamnya, aku akan berterima kasih. Jika benar tidak, maka aku tidak dapat berbicara apa-apa lagi.
Selain urusan sekolah, semua kebutuhan di rumah dan kebutuhan anak-anaknya, hanya Mama yang mengusahakan segalanya. Dari apa yang aku dengar, Ayah jarang sekali membantu Mama dalam kesulitan. Aku tidak bilang "tidak pernah" namun "jarang". Karena faktanya, Ayah memang tidak mau tau apa yang terjadi di dalam rumah. Hanya Mama yang memusingkan segalanya, Ayah tidak. Tidak tau di luarnya bagaimana.
Mama juga sering mengajarkan ku untuk selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan hari ini. Diluar sana belum tentu ada anak seberuntung ku yang masih bisa makan nasi dan tidur nyenyak di dalam rumah. Belajar untuk selalu melihat ke bawah dan bersyukur adalah salah satu cara Mama untuk mendidikanak-anaknya agar menjadi pribadi yang baik dan rendah hati. Dan satu lagi, Mama selalu mengajarkan ku untuk berusaha terlebih dahulu jika ingin mendapatkan sesuatu yang besar. Jika aku tidak mau berusaha, jangan mengharapkan sesuatu itu akan menjdi milik kita.
Sering Dimusuhi
Kepada seserang yang saat SD sering memusuhi ku, saat kamu membaca ini, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Karena sejujurnya kamu telah ikut andil dalam kelamnya masa lalu ku. Aku tidak menyalahkan mu karena telah melakukannya, bahkan aku berterima kasih karen telah mengajarkan ku banyak pelajaran di dalamnya. Diriku yang saat kecil sering dimusuhi menjadi terbiasa untuk hidup mandiri. Bahkan impact dari perbutan kalian itulah yang menjadikan tegarnya pondasi hati ku hingga aku dapat tinggl jauh dari rumah ku. Aku yakin Tuhan memberikan jalan seperti itu karena Tuhan sayang kepada ku. Tuhan ingin aku lebih mandiri dibandingkan teman-teman ku yang lainnya. Tuhan ingin melihat ku menjadi wanita independen yang dapat mengejar impiannya berkat usahanya sendiri.
Tumbuh Sebagai Anak Broken Home
Diantara semua pembelajaran hidup yang ku terima, aku paling benci saat menerima fakta bahwa aku menjadi sekuat ini akibat tumbuh sebagi anak dari keluarga broken home. Di antara jutaan manusia di bumi, anak mana sih yang mau disebut sebagai anak keluarga broken home? Tidak ada! Tidak satupun anak di dunia ini yang ingin melihat kedua orang tuanya bercerai. Tidak satupun anak di dunia ini yang kuat melihat pertengkaran antara Bapak dan Ibunya. Tidak ada.
Jika kalian bertanya sejak kapan orang tua ku berpisah, aku tidak dapat menjawabnya. Karena aku sendiri terkadng masih belum bisa menerima kenyataan bahwa orang tua ku telah berpisah. Yang jelas, masalah itu datang saat diriku memutuskan untuk melanjutkan SMA di sebuah kota besar dan memilih untuk meninggalkan rumah. Aku tidak pernah tau, bahwa kepergian ku itu juga berarti aku meninggalkan rumah beserta isi-isinya. Meninggalkan keluarga dan orang tua yang 'utuh'. Terkadang ada rasa ingin kembali seperti sebelumnya konflik ini datang. Tapi manusia mana yang dapat mengembalikan waktu?
Saat itu aku ingin sekali bercerita kepada semua orang bahwa aku sedang memiliki masalah dan butuh tempat untuk bercerita. Nyatanya, aku sama sekali tidak berani mengungkit cerita mengenai orang tua ku tersebut. Ada beberapa sahabat SMA ku yang dapat ku percaya, namun ya begitu. Tidak semua rahasia dapat diberitahukan. Aku lebih senang menyebutnya 'rahasia' dibandingkan 'aib'. Karena sesungguhnya pisahnya orang tua ku itu bukan sebuah aib keluarga, melainkan kesedihan yang harus dirahasiakan dari orang-orang agar mereka tidak ikut merasakan kesedihan yang kita alami.
Belajar Ikhlas dan Memaafkan Diri Sendiri
Kini aku telah tinggal sendiri dan berpisah jauh baik dari Mama, Kakak dan Ayah. Mama tinggal sendiri di rumah masa kecil ku. Ayah dan Kakak tinggal di sebuah kota yang jauh dari rumah. Kakak ikut dengan Ayah karena untuk membantu pekerjaan Ayah. Kini Ayah telah menua. Begitu juga dengan Mama. Kaka sudah begitu dewasa untuk mengerti bahwa ia tidak boleh lagi mendapat pukulan sapu dari Ayah. Aku? Menjalani hari-hari ku dengan kesendirian, belajar mengikhlaskan semuanya, mencoba memaafkan diri sendiri dan menciptakan kebahagiaan ku sendiri. Bekerja sepanjang hari, mencoba berbagai jenis makanan yang ada di sepanjang komplek perumahan tempat aku tinggal sambil menonton drama, film atau video menarik yang ada di youtube, menggambar berbagai jenis illustrasi atau sketch lalu memostingnya di sosial media ku atau tidur sepanjang weekend sebagai ganti jatah tidur ku saat weekday.
Mencoba segala hal sederhana yang memungkinkan diri ku untuk terbeas dari rasa bersalah dan benci terhadap apa yang telah ku lalui selama ini. Aku menciptakan sendiri ketenangan itu sepanjang malam. Tanpa rasa takut diteriaki atau di pukul oleh benda keras lagi. Mencoba mengikhlaskan segala waktu yang kelam untuk ku kubur dalam-dalam.
Berdamai Dengan Masa Lalu
Dalam suatu malam, disaat aku merasa bosan untuk mencoba menciptakan kebahagian ku sendiri, aku memberanikan keluar dari zona aman ku. Mengingat segala hal buruk yang selama ini sudah ku lalui hingga sejauh ini. Mencoba mengambil hikmh dibalik semua peristiwa yang telah berlalu. Membayangkan bagaimana jadinya jika dulu aku dan Kakak ku di didik dengan penuh kemanjaan dan kemewahan yang tiada habisnya 7 turunan, bagaimana jika diriku diberikan kebebasan dalam melakukan apapun dan bertindak sesuka hati, bagaimana jika aku selalu dikelilingin dengan orang yang menyayangiku dan suatu hari bertemu dengan jutaan orang jahat yang siap menghancurkan hidup ku. Bagaimana jadinya jika dulu aku memilih untuk tidak pernah meninggalkan rumah dan memilih untuk hidup dengan keluarga yang lengkap. Bagaimana jika Mama dan Ayah tidak pernah memutuskan untuk berpisah...
Mungkin aku tidak akan pernah sekuat ini, tidak akan pernah setegar sekarang, tidak akan pernah mandiri seperti sekarang dan mungkin aku tidak akan pernah sesayang ini kepada orang tua dan saudara ku. Mungkin aku tidak akan pernah tau apa itu rasa sakit dan bagaimana cara menyembuhkannya. Mungkin saja aku tidak akan pernah berfikir seperti sekarang ini.
Pepatah yang mengatakan "anak yang tumbuh dengan rasa sakit akan lebih menghargai hidupnya di kehidupan selanjutnya" mungkin ada benarnya. Jika dulu Ayah tidak pernah keras terhadap ku dan aku tidak pernah memiliki keluarga yang tidak utuh, mungkin sekarang yang ku lakukan hanyalah mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Mungkin aku tidak akan pernah mengucap kata syukur jika kehidupan ku berjalan mulus sesuai dengan apa kemauan ku. Jika dulu aku tidak berani untuk meninggalkan rumah, mungkin aku tidak akan pernah tau rupa-rupa orang jahat yang siap menjatuhkan kita kapan saja.
Ada kalanya berdamai dengan masa lalu tidak selalu dengan melupakannya dan menciptakan kebahagiaan yang baru. Ada saatnya emosi yang telah lama tertanam di dalam diri ini dikeluarkan dan ditaruh di tempat yang semestinya, seperti halnya menangis. Menangis bukan selalu tentang penyesalan. Mungkin dengan menangis, usaha mu untuk mengikhlaskan semuanya akan menjadi lebih ringan. Tidak ada salahnya menangis walau mengenai masa lalu. Jangan pernah malu untuk menangis, terlebih lagi berhadapan dengan masa lalu. Karna hanya dengan menangis, kamu dapat mengukur seberapa besar rasa sakit yang selama ini sudah kamu pendam.
Aku pun juga melakukan hal yang sama. Saat dimana aku telah lelah dan jenuh dengan semua penyesalan yang datang tiba-tiba, aku akan menangis di kamar ku dalam diam. Bahkan pernah saat aku membaca konten yang lucu atau melihat video yang konyol, tiba-tiba aku menangis. Menyadari bahwa begitu menderitanya aku dulu dan tidak tau bagaimana cara meluapkannya.
Sekarang, aku ingin mengajak mu untuk melakukan hal yang sama. Berdamailah dengan masa lalu kalian, ikhlas lah dengan semua rasa penyesalan yang pernah datang kepada kalian, maafkan lah diri kalian dan cintailah diri kalian sendiri melebihi cinta orang lain terhadap dirimu. Jika kamu tidak tau bagaimana caranya meluapkan emosi, menangislah. Jangan pernah malu untuk meluapkan emosi mu bahkan saat seorang diri. Jangan pernah menganggap dirimu itu tidak penting dan tidak ada yang perduli terhadap kalian. Jika kalian orang yang beragama, ada Tuhan yang selalu di sisi klian. Ada orang tua dan saudara yang selalu menunggu kepulangan dan keceriaan kalian. Ada teman yang selalu membutuhkan bantuan kalian untuk berbagi cerita kehidupan. Jika kalian ingin dicintai orang lain, maka cintailah diri kalian terlebih dahulu. Hargai diri kalian yang telah berjuang hingga sejauh ini. Hargai badan dan tenaga kalian yang tidak mengenal lelah untuk terus berusaha sesuai keinginan kalian. Jika kalian sudah menghargai diri sendiri, maka kalian juga bisa menghargai kehidupan kalian. Karna apapun yang terjadi di bumi ini, datangnya dari diri kita dan akan kembali ke diri kita lagi.
Ucapan ku tidak digubrisnya. Aku makin meninggikan nada suara ku agar ia mendengar bahwa adiknya ini sedang memperingatkannya untuk tidak menggunakan barang orang tanpa seijin yang punya. Teguruan ku mulai menjadi rengekan dan makin keras hingga suara ku di dengar oleh Ayah. Aku yang masih meneriaki Kakak sambil merengek sekaligus emosi tiba-tiba kepala ku terasa seperti telah dipukulkan dengan benda keras. Telinga ku berdengung. Aku tidak bisa mendengar apapun selain dengungan. Kepala dan badan ku terasa ringan. Penglihatan ku mulai terasa samar. Lalu untuk kedua kalinya aku merasakan benda keras itu kembali terpantul di kepala ku. Suara ku tercekat, bahkan aku sudah tidak bisa menangis bahkan merengek. Ingatan tentang sepeda dan Kakak ku menguap sudah. Yang ku ingat terakhir kali hanyalah suara Mama yang berteriak saat melihat ku perlahan terjatuh ke lantai. Saat itu aku hanya bisa memeluk erat lengan tangan Mama. Setelahnya semua terasa hitam.
Saat aku sudah bangun, Mama menceritakan semuanya. Katanya tadi Ayah telah memukul kepala ku dengan ganggang sapu. Dan parahnya lagi sapu itu terbelah menjadi dua! Pantas saja aku langsung pingsan, ganggang sapu yang terbuat dari kayu di pukulkan ke kepala ku dan terbelah dua! Mulai saat itu aku selalu mengkhawatirkan kepala ku dan beberapa minggu setelahnya aku selalu mengeluh mengalami sakit kepala. Bahkan hingga SMA aku masih sering merasakan sakit kepala itu. Aku bukan anak yang mudah stress, tetapi aku yakin efek dari insiden itu telah membuat ku mengalami masalah yang serius.
Tak hanya sampai disitu. Aku dan Kakak ku juga pernah mendapatkan hukuman bersama saat aku masih SD kelas 1. Saat itu listrik sedang mati di lingkungan tempat tinggal ku termasuk rumahku. Lalu Ayah mengatakan kepada kami untuk tidak keluar rumah dan menyebrang jalanan (waktu itu rumah ku terletak di pinggir jalan raya). Berhubung Kakak seseorang yang keras kepala dan tidak ada jeranya, jadilah ia untuk keluar rumah dan menyebrangi jalanan hanya untuk bermain dengan tetangga di sebrang jalan. Aku sudah sangat mengkhawatirkan Kakak karena takut ketahuan Ayah. Firasatku sangat tidak enak malam itu. Saat Ayah memanggil ku untuk menutup pintu rumah malam itu,aku hanya bisa terdiam karena Kakak masih di sebrang jalan dan belum pulang. Waktu Ayah mengetahui keberadaan Kakak, beliau langsung memanggilnya dan menyuruhnya pulang. Saat sampai di rumah, Kakak lalu di giring ke kamar mandi dan diguyur air karena tidak menuruti kata-kata Ayah. Aku cuma bisa berteriak memohon agar Kakak tidak diguyur air lebih banyak lagi. Alhasil, aku juga ikutan diguyur air seperti Kakak. Aku mencoba berlindung dengan Kakak dan mencoba memanggil Mama untuk menolong kami. Kemudian Ayah mengunci kami berdua di dalam kamar mandi dan lampu kamar mandi juga dimatikan. Mama yang hendak menolong kami tidak dapat berbuat banyak karena Ayah melarang Mama untuk mengeluarkan kami. Seingatku, selama 3 jam dalam seumur hidupku, baru kali itu aku merasa setakut itu dengan kegelapan. Ditambah dinginnya baju yang ku kenakan bekas guyuran air tadi. Aku hanya bisa menangis di ujung kamar mandi sambil merangkul lutut ku. Anak SD kelas 1 mana yang tahan diperlakukan seperti itu. Silahkan kalian memposisikan diri kalian di posisi ku.
Jika kalian bertanya seberapa banyak siksaan yang aku dan Kakak ku dapat karena Ayah ku, well, aku sendiri tidak berani untuk mengingatnya. Karena sejujurnya, saat mengetik ini pun, aku terus berusaha mencoba untuk menahan air mata dan ketakutanku terhadap masa lalu. Sudah tidak dapat ku hitung berapa banyak pukulan demi pukulan yang diriku dan Kakak ku terima. Bahkan Mama sampai mengeluh karena sapunya selalu patah karena Ayah yang selalu memukul anaknya menggunakan sapu. Beliau harus membeli yang baru lagi dan lagi. Terkadang Mama juga bisa emosi dengan perlakuan Ayah, tetapi Ayah lebih keras dari Mama jadi Mama tidak dapat berbuat apa-apa.
Hidup Dalam Kesederhanaan
Jika saat kecil kalian dapat makan enak di rumah makan atau restauran kesukaan keluarga kalian, lain halnya dengan keluarga ku. Orang tua ku mengajarkan untuk selalu berhemat dan menabung sebanyak mungkin. Tidak perlu makan di luar jika sekolah ku saja tidak beres. Tidak perlu bermain dengan teman jika nilai pr ku saja masih jelek. Tidak perlu liburan ke luar kota jika nilai semester ku saja rendah. Aku tidak bisa membedakan mana yang kekurangan, mana yang pelit dan mana yang tidak menyayangi anaknya. Bahkan disaat aku mendapat ranking 1 saat semesteran dan nilai pr ku yang bagus, ku tetap tidak diberikan apa-apa. Hanya Mama yang berbaik hati memasakkan ku makanan enak pada malam harinya. Hanya Mama yang menambah uang jajan ku diam-diam saat nilai-nilai ku di sekolah meningkat. Hanya Mama yang membelikan seluruh peralatan dan keperluan sekolah ku dan Kakak. Aku tidak tau apakah Ayah ikut berkontribusi di dalamnya, karena selama ini yang ada di mata ku hanyalah Mama. Jika benar Ayah ikut andil di dalamnya, aku akan berterima kasih. Jika benar tidak, maka aku tidak dapat berbicara apa-apa lagi.
Selain urusan sekolah, semua kebutuhan di rumah dan kebutuhan anak-anaknya, hanya Mama yang mengusahakan segalanya. Dari apa yang aku dengar, Ayah jarang sekali membantu Mama dalam kesulitan. Aku tidak bilang "tidak pernah" namun "jarang". Karena faktanya, Ayah memang tidak mau tau apa yang terjadi di dalam rumah. Hanya Mama yang memusingkan segalanya, Ayah tidak. Tidak tau di luarnya bagaimana.
Mama juga sering mengajarkan ku untuk selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan hari ini. Diluar sana belum tentu ada anak seberuntung ku yang masih bisa makan nasi dan tidur nyenyak di dalam rumah. Belajar untuk selalu melihat ke bawah dan bersyukur adalah salah satu cara Mama untuk mendidikanak-anaknya agar menjadi pribadi yang baik dan rendah hati. Dan satu lagi, Mama selalu mengajarkan ku untuk berusaha terlebih dahulu jika ingin mendapatkan sesuatu yang besar. Jika aku tidak mau berusaha, jangan mengharapkan sesuatu itu akan menjdi milik kita.
Sering Dimusuhi
Kepada seserang yang saat SD sering memusuhi ku, saat kamu membaca ini, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Karena sejujurnya kamu telah ikut andil dalam kelamnya masa lalu ku. Aku tidak menyalahkan mu karena telah melakukannya, bahkan aku berterima kasih karen telah mengajarkan ku banyak pelajaran di dalamnya. Diriku yang saat kecil sering dimusuhi menjadi terbiasa untuk hidup mandiri. Bahkan impact dari perbutan kalian itulah yang menjadikan tegarnya pondasi hati ku hingga aku dapat tinggl jauh dari rumah ku. Aku yakin Tuhan memberikan jalan seperti itu karena Tuhan sayang kepada ku. Tuhan ingin aku lebih mandiri dibandingkan teman-teman ku yang lainnya. Tuhan ingin melihat ku menjadi wanita independen yang dapat mengejar impiannya berkat usahanya sendiri.
Tumbuh Sebagai Anak Broken Home
Diantara semua pembelajaran hidup yang ku terima, aku paling benci saat menerima fakta bahwa aku menjadi sekuat ini akibat tumbuh sebagi anak dari keluarga broken home. Di antara jutaan manusia di bumi, anak mana sih yang mau disebut sebagai anak keluarga broken home? Tidak ada! Tidak satupun anak di dunia ini yang ingin melihat kedua orang tuanya bercerai. Tidak satupun anak di dunia ini yang kuat melihat pertengkaran antara Bapak dan Ibunya. Tidak ada.
Jika kalian bertanya sejak kapan orang tua ku berpisah, aku tidak dapat menjawabnya. Karena aku sendiri terkadng masih belum bisa menerima kenyataan bahwa orang tua ku telah berpisah. Yang jelas, masalah itu datang saat diriku memutuskan untuk melanjutkan SMA di sebuah kota besar dan memilih untuk meninggalkan rumah. Aku tidak pernah tau, bahwa kepergian ku itu juga berarti aku meninggalkan rumah beserta isi-isinya. Meninggalkan keluarga dan orang tua yang 'utuh'. Terkadang ada rasa ingin kembali seperti sebelumnya konflik ini datang. Tapi manusia mana yang dapat mengembalikan waktu?
Saat itu aku ingin sekali bercerita kepada semua orang bahwa aku sedang memiliki masalah dan butuh tempat untuk bercerita. Nyatanya, aku sama sekali tidak berani mengungkit cerita mengenai orang tua ku tersebut. Ada beberapa sahabat SMA ku yang dapat ku percaya, namun ya begitu. Tidak semua rahasia dapat diberitahukan. Aku lebih senang menyebutnya 'rahasia' dibandingkan 'aib'. Karena sesungguhnya pisahnya orang tua ku itu bukan sebuah aib keluarga, melainkan kesedihan yang harus dirahasiakan dari orang-orang agar mereka tidak ikut merasakan kesedihan yang kita alami.
Belajar Ikhlas dan Memaafkan Diri Sendiri
Kini aku telah tinggal sendiri dan berpisah jauh baik dari Mama, Kakak dan Ayah. Mama tinggal sendiri di rumah masa kecil ku. Ayah dan Kakak tinggal di sebuah kota yang jauh dari rumah. Kakak ikut dengan Ayah karena untuk membantu pekerjaan Ayah. Kini Ayah telah menua. Begitu juga dengan Mama. Kaka sudah begitu dewasa untuk mengerti bahwa ia tidak boleh lagi mendapat pukulan sapu dari Ayah. Aku? Menjalani hari-hari ku dengan kesendirian, belajar mengikhlaskan semuanya, mencoba memaafkan diri sendiri dan menciptakan kebahagiaan ku sendiri. Bekerja sepanjang hari, mencoba berbagai jenis makanan yang ada di sepanjang komplek perumahan tempat aku tinggal sambil menonton drama, film atau video menarik yang ada di youtube, menggambar berbagai jenis illustrasi atau sketch lalu memostingnya di sosial media ku atau tidur sepanjang weekend sebagai ganti jatah tidur ku saat weekday.
Mencoba segala hal sederhana yang memungkinkan diri ku untuk terbeas dari rasa bersalah dan benci terhadap apa yang telah ku lalui selama ini. Aku menciptakan sendiri ketenangan itu sepanjang malam. Tanpa rasa takut diteriaki atau di pukul oleh benda keras lagi. Mencoba mengikhlaskan segala waktu yang kelam untuk ku kubur dalam-dalam.
Berdamai Dengan Masa Lalu
Dalam suatu malam, disaat aku merasa bosan untuk mencoba menciptakan kebahagian ku sendiri, aku memberanikan keluar dari zona aman ku. Mengingat segala hal buruk yang selama ini sudah ku lalui hingga sejauh ini. Mencoba mengambil hikmh dibalik semua peristiwa yang telah berlalu. Membayangkan bagaimana jadinya jika dulu aku dan Kakak ku di didik dengan penuh kemanjaan dan kemewahan yang tiada habisnya 7 turunan, bagaimana jika diriku diberikan kebebasan dalam melakukan apapun dan bertindak sesuka hati, bagaimana jika aku selalu dikelilingin dengan orang yang menyayangiku dan suatu hari bertemu dengan jutaan orang jahat yang siap menghancurkan hidup ku. Bagaimana jadinya jika dulu aku memilih untuk tidak pernah meninggalkan rumah dan memilih untuk hidup dengan keluarga yang lengkap. Bagaimana jika Mama dan Ayah tidak pernah memutuskan untuk berpisah...
Mungkin aku tidak akan pernah sekuat ini, tidak akan pernah setegar sekarang, tidak akan pernah mandiri seperti sekarang dan mungkin aku tidak akan pernah sesayang ini kepada orang tua dan saudara ku. Mungkin aku tidak akan pernah tau apa itu rasa sakit dan bagaimana cara menyembuhkannya. Mungkin saja aku tidak akan pernah berfikir seperti sekarang ini.
Pepatah yang mengatakan "anak yang tumbuh dengan rasa sakit akan lebih menghargai hidupnya di kehidupan selanjutnya" mungkin ada benarnya. Jika dulu Ayah tidak pernah keras terhadap ku dan aku tidak pernah memiliki keluarga yang tidak utuh, mungkin sekarang yang ku lakukan hanyalah mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Mungkin aku tidak akan pernah mengucap kata syukur jika kehidupan ku berjalan mulus sesuai dengan apa kemauan ku. Jika dulu aku tidak berani untuk meninggalkan rumah, mungkin aku tidak akan pernah tau rupa-rupa orang jahat yang siap menjatuhkan kita kapan saja.
Ada kalanya berdamai dengan masa lalu tidak selalu dengan melupakannya dan menciptakan kebahagiaan yang baru. Ada saatnya emosi yang telah lama tertanam di dalam diri ini dikeluarkan dan ditaruh di tempat yang semestinya, seperti halnya menangis. Menangis bukan selalu tentang penyesalan. Mungkin dengan menangis, usaha mu untuk mengikhlaskan semuanya akan menjadi lebih ringan. Tidak ada salahnya menangis walau mengenai masa lalu. Jangan pernah malu untuk menangis, terlebih lagi berhadapan dengan masa lalu. Karna hanya dengan menangis, kamu dapat mengukur seberapa besar rasa sakit yang selama ini sudah kamu pendam.
Aku pun juga melakukan hal yang sama. Saat dimana aku telah lelah dan jenuh dengan semua penyesalan yang datang tiba-tiba, aku akan menangis di kamar ku dalam diam. Bahkan pernah saat aku membaca konten yang lucu atau melihat video yang konyol, tiba-tiba aku menangis. Menyadari bahwa begitu menderitanya aku dulu dan tidak tau bagaimana cara meluapkannya.
Sekarang, aku ingin mengajak mu untuk melakukan hal yang sama. Berdamailah dengan masa lalu kalian, ikhlas lah dengan semua rasa penyesalan yang pernah datang kepada kalian, maafkan lah diri kalian dan cintailah diri kalian sendiri melebihi cinta orang lain terhadap dirimu. Jika kamu tidak tau bagaimana caranya meluapkan emosi, menangislah. Jangan pernah malu untuk meluapkan emosi mu bahkan saat seorang diri. Jangan pernah menganggap dirimu itu tidak penting dan tidak ada yang perduli terhadap kalian. Jika kalian orang yang beragama, ada Tuhan yang selalu di sisi klian. Ada orang tua dan saudara yang selalu menunggu kepulangan dan keceriaan kalian. Ada teman yang selalu membutuhkan bantuan kalian untuk berbagi cerita kehidupan. Jika kalian ingin dicintai orang lain, maka cintailah diri kalian terlebih dahulu. Hargai diri kalian yang telah berjuang hingga sejauh ini. Hargai badan dan tenaga kalian yang tidak mengenal lelah untuk terus berusaha sesuai keinginan kalian. Jika kalian sudah menghargai diri sendiri, maka kalian juga bisa menghargai kehidupan kalian. Karna apapun yang terjadi di bumi ini, datangnya dari diri kita dan akan kembali ke diri kita lagi.
0 komentar