KEHILANGAN - Part 11

July 09, 2013

Hari ini bagi raport untuk semester 2. Aku tidak dapat turun sekolah, karena hari ini aku harus menjalani cuci darah. Tapi, kabar yang dibilang oleh orang tua ku, aku terkena demam. Itu juga karna aku yang minta. Aku tidak ingin mencemaskan teman-teman ku. Hanya Orang tua, kak Echa, dan kak Adi yang tahu. Ya, kak Adi telah mengetahui tentang penyakit ku ini. Telah banyak pengalaman yang ku lewati dengannya, menjadi bekal untuk ku agar dapat melewati cuci darah ku yang pertama ini.
“Gimana de? Nyenyak tidurnya?”, tanya kak Adi bagaikan seorang pangeran yang menanyakan tentang adiknya yang seorang putri tidur.
“Iya kak”, jawab ku. Hanya kata itu yang dapat ku katakan padanya.
“Wira peringkat keberapa ka?”, tanya ku pada kak Adi
“Ke-5 de. Meningkat 10”, jawabnya senang.
“Alhamdulillah”, sahut ku
Kini, aku tak dapat berbuat banyak. Perilaku ku telah dibatasi. Program diet ku telah ku hapuskan. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan ku. Disekolah, aku lebih banyak diam didalam kelas daripada keluar kelas. Tapi aku bersyukur, karna itu juga aku dapat lebih konsen untuk belajar. Ya, sekarang aku sudah kelas 3 SMP. Beberapa bulan lagi aku akan menjalani UN. Oleh karna itu, aku harus lebih giat belajar, agar aku dapat membuat orang tua ku bangga dengan nilai ku.
Kelemahan ku dalam pelajaran adalah dalam bidang Matematika. Untung ada kak Adi yang mau mengajari ku cara belajar Matematika yang baik, akhirnya, makin hari aku makin mahir dalam mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan hitung-hitungan.
“Mudahan lancar ya de ujiannya”, kata kak Adi

“Amiiinn kak”, sahut ku
Perlahan, ku pejamkan mata ku untuk merasakan kembali ketenangan saat berada di atas bukit. Kali ini tanpa kak Adi pastinya. Kedua tangan ku memegang pagar pembatas lantai paling atas dirumah sakit tersebut. Ku pegang erat-erat. Ku rasakan karat pagar yang bergesekkan dengan kulit ku. Ku nikmati hembusan angin yang menerpa badan ku.
Kembali ku rasakan pusing di kepala ku. Kali ini berbeda. Yang ku tahu, aku merasakan pusing ini saat sedang berada dekat dengan kak Adib. Ya, sosok yang hilang dari kehidupan ku. Aku tak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Tiba-tiba aku langsung berfikir, pusing? Kak Adib? Masa iya kak Adib di dekat ku?
“De”, panggil seseorang dari belakang
Suara itu? De? Langsung saja aku berbalik dan yang ku dapati adalah...
“Kakak?”, kata ku tak percaya
“Kenapa kakak bisa...”
“Kakak sudah tau de. Bahkan sudah tahu lama tentang penyakit ade”, katanya
“Maksud kakak? Wira masih nggak ngerti kak”, tanya ku
Kak Adib berjalan mendekat ke arah ku, bahkan sekarang telah berada di samping ku. Hati ku berdebar begitu kencang. Rasa pusing yang ku rasakan berganti menjadi rasa deg-degan.
“Ade masih ingat saat ade pingsan dikantin?”, tanyanya sambil melirik ku
“Emm, iya”, kata ku sambil mengingat
“Memangnya ada apa kak?”, tanya ku lagi
“Saat ade mau jatuh, kakak yang menolong ade supaya tidak jatuh ke lantai. Saat itu juga kakak minta bantuan ibu kantin untuk membawa ade ke rumahnya. Karna kakak nggak mau teman ade yang lain kalau ade sedang sakit. Dan kakak juga yakin, itu bukan mimisan yang biasa”, jelasnya
“Trus, kenapa kakak nggak ada waktu Wira sudah sadar?”, tanya ku dengan nada sedikit meninggi.
“ Yang itu...kakak belum siap de”, jawabnya penuh dengan penyesalan
“Belum siap apa kak?”, tanya ku dengan penasaran
Seketika dia berbalik, berjalan menuju kearah ku. Kaki ku melangkah mundur satu langkah saat dia berada didepan ku. Dan kembali dia maju satu langkah dan kini...dia tepat berada didepan ku! Aku tidak pernah menyangka bahkan berfikir akan sedekat ini dengannya. Kedua tangannya menganbil kedua tangan ku dengan lembut. Diangkatnya tangan ku hingga berada didepan dadanya.
“Belum siap...untuk bilang...bahwa...kakak...”, katanya terbata-bata
“Bahwa kakak apa?”, tanya ku makin penasaaran
“Bahwa...kakak...selama ini...sayang sama ade”, ujarnya
Sontak, kepala ku terangkat. Mata ku sedikit melebar setelah mendengar perkataannya itu. Sayang sama aku? Kenapa kakak nggak bilang dari dulu sih kak? Aku kan bakal bilang “iya” kalau kakak minta aku untuk jadi cewek kakak, kata ku dalam hati.
“Maaf de, dulu kakak ingin menguji perasaan ade ke kakak. Apa ade tulus apa nggak sayang sama kakak”, jelasnya lagi
“Tapi nggak selama ini juga kan ka!”, bentak ku kesal.
Tiba-tiba air mata ku menetes. Satu, dua, tiga, empat, lima, hinga seterusnya. Kini, aku benar-benar tidak dapat membendung kekesalan ku. Tiba-tiba ku rasakan sebuah pelukan hangat. Sebuah kehangatan yang belum pernah ku dapati selain pelukan seorang Ibu. Sebuah pelukan yang tulus. Ya, kak Adib memeluk ku dari belakang!
“Karna itu kakak kesini ingin meminta maaf sama ade”, katanya lagi
“Hanya itu kak?”, tanya ku lagi
Kemudian dia memutar balik badan ku, hingga sekarang aku telah berada telak didepan badannya. Ya, kini kak Adib memeluk ku dari depan!
“Kakak juga mau bilang, maaf ade sudah menunggu kakak terlalu lama. Maaf untuk semua kesakitan yang ade dapatkan dari kakak. Semua itu terjadi tanpa sengaja dari kakak de. Ade ngerti kan maksud kakak?”, jelasnya panjang lebar
“Iya kak, Wira ngerti maksud kakak”, jawab ku singkat
“Jadi, mulai sekarang, bila ade masih melirik pria lain, tamat riwayat ade”, ujarnya memberi ku ultimatum.
“Maksud kakak?”, tanya ku lagi tak percaya
“Iya de. Sudah sini, kakak masih mau dipeluk sama ade”, katanya tanpa dosa
Apa? Ini kah yang dinamakan cinta sejati? Ini kah yang dinamakan kenikmatan duniawi? Jadi sekarang? Oh tidak! Sekarang aku memiliki hubungan dengan seseorang yang ku puja-puji dalam keheningan. Seseorang yang telah memberi warna dalam hidup ku. Seseorang yang dulunya berstatus “kakak kelas” bagi ku kini berganti menjadi “kekasih”! Terima kasih Tuhan. Aku tahu Engkau Maha Adil. Maha Mengetahui. Maha Bijaksana.


You Might Also Like

0 komentar

Tuesday, July 9, 2013

KEHILANGAN - Part 11

Hari ini bagi raport untuk semester 2. Aku tidak dapat turun sekolah, karena hari ini aku harus menjalani cuci darah. Tapi, kabar yang dibilang oleh orang tua ku, aku terkena demam. Itu juga karna aku yang minta. Aku tidak ingin mencemaskan teman-teman ku. Hanya Orang tua, kak Echa, dan kak Adi yang tahu. Ya, kak Adi telah mengetahui tentang penyakit ku ini. Telah banyak pengalaman yang ku lewati dengannya, menjadi bekal untuk ku agar dapat melewati cuci darah ku yang pertama ini.
“Gimana de? Nyenyak tidurnya?”, tanya kak Adi bagaikan seorang pangeran yang menanyakan tentang adiknya yang seorang putri tidur.
“Iya kak”, jawab ku. Hanya kata itu yang dapat ku katakan padanya.
“Wira peringkat keberapa ka?”, tanya ku pada kak Adi
“Ke-5 de. Meningkat 10”, jawabnya senang.
“Alhamdulillah”, sahut ku
Kini, aku tak dapat berbuat banyak. Perilaku ku telah dibatasi. Program diet ku telah ku hapuskan. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan ku. Disekolah, aku lebih banyak diam didalam kelas daripada keluar kelas. Tapi aku bersyukur, karna itu juga aku dapat lebih konsen untuk belajar. Ya, sekarang aku sudah kelas 3 SMP. Beberapa bulan lagi aku akan menjalani UN. Oleh karna itu, aku harus lebih giat belajar, agar aku dapat membuat orang tua ku bangga dengan nilai ku.
Kelemahan ku dalam pelajaran adalah dalam bidang Matematika. Untung ada kak Adi yang mau mengajari ku cara belajar Matematika yang baik, akhirnya, makin hari aku makin mahir dalam mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan hitung-hitungan.
“Mudahan lancar ya de ujiannya”, kata kak Adi

“Amiiinn kak”, sahut ku
Perlahan, ku pejamkan mata ku untuk merasakan kembali ketenangan saat berada di atas bukit. Kali ini tanpa kak Adi pastinya. Kedua tangan ku memegang pagar pembatas lantai paling atas dirumah sakit tersebut. Ku pegang erat-erat. Ku rasakan karat pagar yang bergesekkan dengan kulit ku. Ku nikmati hembusan angin yang menerpa badan ku.
Kembali ku rasakan pusing di kepala ku. Kali ini berbeda. Yang ku tahu, aku merasakan pusing ini saat sedang berada dekat dengan kak Adib. Ya, sosok yang hilang dari kehidupan ku. Aku tak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Tiba-tiba aku langsung berfikir, pusing? Kak Adib? Masa iya kak Adib di dekat ku?
“De”, panggil seseorang dari belakang
Suara itu? De? Langsung saja aku berbalik dan yang ku dapati adalah...
“Kakak?”, kata ku tak percaya
“Kenapa kakak bisa...”
“Kakak sudah tau de. Bahkan sudah tahu lama tentang penyakit ade”, katanya
“Maksud kakak? Wira masih nggak ngerti kak”, tanya ku
Kak Adib berjalan mendekat ke arah ku, bahkan sekarang telah berada di samping ku. Hati ku berdebar begitu kencang. Rasa pusing yang ku rasakan berganti menjadi rasa deg-degan.
“Ade masih ingat saat ade pingsan dikantin?”, tanyanya sambil melirik ku
“Emm, iya”, kata ku sambil mengingat
“Memangnya ada apa kak?”, tanya ku lagi
“Saat ade mau jatuh, kakak yang menolong ade supaya tidak jatuh ke lantai. Saat itu juga kakak minta bantuan ibu kantin untuk membawa ade ke rumahnya. Karna kakak nggak mau teman ade yang lain kalau ade sedang sakit. Dan kakak juga yakin, itu bukan mimisan yang biasa”, jelasnya
“Trus, kenapa kakak nggak ada waktu Wira sudah sadar?”, tanya ku dengan nada sedikit meninggi.
“ Yang itu...kakak belum siap de”, jawabnya penuh dengan penyesalan
“Belum siap apa kak?”, tanya ku dengan penasaran
Seketika dia berbalik, berjalan menuju kearah ku. Kaki ku melangkah mundur satu langkah saat dia berada didepan ku. Dan kembali dia maju satu langkah dan kini...dia tepat berada didepan ku! Aku tidak pernah menyangka bahkan berfikir akan sedekat ini dengannya. Kedua tangannya menganbil kedua tangan ku dengan lembut. Diangkatnya tangan ku hingga berada didepan dadanya.
“Belum siap...untuk bilang...bahwa...kakak...”, katanya terbata-bata
“Bahwa kakak apa?”, tanya ku makin penasaaran
“Bahwa...kakak...selama ini...sayang sama ade”, ujarnya
Sontak, kepala ku terangkat. Mata ku sedikit melebar setelah mendengar perkataannya itu. Sayang sama aku? Kenapa kakak nggak bilang dari dulu sih kak? Aku kan bakal bilang “iya” kalau kakak minta aku untuk jadi cewek kakak, kata ku dalam hati.
“Maaf de, dulu kakak ingin menguji perasaan ade ke kakak. Apa ade tulus apa nggak sayang sama kakak”, jelasnya lagi
“Tapi nggak selama ini juga kan ka!”, bentak ku kesal.
Tiba-tiba air mata ku menetes. Satu, dua, tiga, empat, lima, hinga seterusnya. Kini, aku benar-benar tidak dapat membendung kekesalan ku. Tiba-tiba ku rasakan sebuah pelukan hangat. Sebuah kehangatan yang belum pernah ku dapati selain pelukan seorang Ibu. Sebuah pelukan yang tulus. Ya, kak Adib memeluk ku dari belakang!
“Karna itu kakak kesini ingin meminta maaf sama ade”, katanya lagi
“Hanya itu kak?”, tanya ku lagi
Kemudian dia memutar balik badan ku, hingga sekarang aku telah berada telak didepan badannya. Ya, kini kak Adib memeluk ku dari depan!
“Kakak juga mau bilang, maaf ade sudah menunggu kakak terlalu lama. Maaf untuk semua kesakitan yang ade dapatkan dari kakak. Semua itu terjadi tanpa sengaja dari kakak de. Ade ngerti kan maksud kakak?”, jelasnya panjang lebar
“Iya kak, Wira ngerti maksud kakak”, jawab ku singkat
“Jadi, mulai sekarang, bila ade masih melirik pria lain, tamat riwayat ade”, ujarnya memberi ku ultimatum.
“Maksud kakak?”, tanya ku lagi tak percaya
“Iya de. Sudah sini, kakak masih mau dipeluk sama ade”, katanya tanpa dosa
Apa? Ini kah yang dinamakan cinta sejati? Ini kah yang dinamakan kenikmatan duniawi? Jadi sekarang? Oh tidak! Sekarang aku memiliki hubungan dengan seseorang yang ku puja-puji dalam keheningan. Seseorang yang telah memberi warna dalam hidup ku. Seseorang yang dulunya berstatus “kakak kelas” bagi ku kini berganti menjadi “kekasih”! Terima kasih Tuhan. Aku tahu Engkau Maha Adil. Maha Mengetahui. Maha Bijaksana.


No comments:

Post a Comment